MANUSIA HARUS SELALU BERSYUKUR ATAS SEMUA YANG DI BERIKAN OLEH ALLAH

Selasa, 26 April 2011

POLITIK ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur segala aspek kehidupan umat manusia baik secara individu maupun kelompok, termasuk kehidupan berpolitik. Sikap dan perilaku manusia tidak lepas dari norma sebagai ukuran baik dan buruk perilaku seseorang. Bagi umat Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber moral dan aturan yang utama yang memiliki daya pengikat yang sangat kuat. Pemahaman terhadap norma-norma ajaran Islam sangat erat dengan realitas masalah-masalah sosial dan politik.
Al-Qur’an sebagai sumber moral dan petunjuk serta aturan, selalu memberi arahan-arahan yang dapat membawa manusia kepada kebenaran dan suasana yang lebih baik untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan duniawi dan ukhrowi. Sebagai petunjuk, al-Qur’an lebih menekankan amal perbuatan nyata dari pada sekedar gagasan.
Dalam persoalan politik, al-Qur’an tidak mengintruksikan berdirinya suatu negara Islam, tidak pula memuat pola tertentu mengenai teori kenegaraan yang harus diikuti oleh setiap perilaku politik. Namun demikian, al-Qur’an memuat pesan-pesan moral dan aturan agar nilai-nilai dan etiknya dijunjung tinggi dan mengikat setiap kegiatan politik umat yang memedomaninya. Berpegang pada amanah dalam setiap kegiatan politik, berlaku adil dalam setiap tindakan, memegang prinsip musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan merupakan pesan-pesan moral yang sangat mendasar dalam kehidupan berpolitik yang didasarkan atas aturan-aturan islam. Pesan-pesan moral dan aturan tersebut diharapkan menjadi pengikat bagi para pelaku politik muslim.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
politik berasal dari kata Yunani yaitu “polis” yang berasti kota, pada masa yang modern seperti ini istilahnya politik berarti seni atau ilmu tentang pemerintahan: suatu ilmu yang berkaitan dengan prinsip pengaturan dan pengawasan rakyat yang hidup dalam masyarakat.
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.
“Di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasahberakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).”
Dari pengertian diatas sudah jelas bahwa polik adalah suatu ilmu atau seni tentang pemerintahan yang mengurusi segala kebutuhan rakyat, dan memecahkan segala masalah yang dihadapi rakyat dalam suatu masyarakat. Dengan demikian suatu politik harus siap dan mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin akan terjadi untuk kedepannya.
Dan dalam politik harus ada pemimpim untuk mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Orang arab punberkata dalam urusan politik mereka berkata :
“Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara bila pemeliharanya ngengat, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).”
B. Hubungan agama dengan negara
1. menurut paham teokrasi: bahwa negara dan negara seperti dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena negara menyatu dengan agama. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah tuhan.
2. menurut paham sekuler: paham ini memisahkan keduanya karena negara mengurusi urusan duniawi, sedangkan agama mengurusi urusan hubungan dengan Tuhan.
3. menurut paham komunisme: paham ini berdasarkan filosofi materialisme dialektis dan materialisme historis, bahwa manusia yang menghasilkan masyarakarat negara, sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis manusia, dan agama adalah keluhan makhluk tertindas.
4. menurut islam: hubungan negara dan agama bagaikan dua anak kembar, agama adalah dasar, dan penguasa, dan negara adalah penjaganya.
C. Hubungan Agama Dan Politik
Sebelum sampai pada pembicaraan tentang moralitas politik, perlu diketengahkan di sini landasan secara umum hubungan antara agama sebagai institusi khusus dengan politik/negara/ dalam pandangan Imam Ghazali dan Ibnu Taimiyah, antara agama dan politik (negara) saling membutuhkan dan saling melengkapi. Masuknya agama ke dalam konsep politik benar-benar dalam kerangka menciptakan kemaslahatan bahwa agama dan politik merupakan saudara kembar, artinya mempunyai hubungan yang sangat dekat dan saling bergantung. Agama adalah dasar dan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu tanpa dasar akan runtuh dan suatu dasar tanpa kekuasaan akan hilang.
Bertitik tolak dari pernyataan al-Ghazali tersebut dapat diungkapkan bahwa kekuasaan sangat dibutuhkan untuk menjamin ketertiban dunia. Ketertiban dunia merupakan suatu keharusan. Untuk ketertiban pelaksanaan agama, dan ketertiban pelaksanaan agama merupakan suatu keharusan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan inilah tujuan diutusnya para Nabi dan Rasul. Dengan demikian, pengangkatan kepada negara dalam perspektif ajaran agama merupakan suatu kewajiban.
Untuk mempertegas hubungan saling bergantung antara agama dan politik, serta diletakkan sebagai dasar dalam menciptakan kebahagiaan yang hakiki, al-Ghazali menempatkan politik dalam lingkup ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan agama. Dalam pengertian yang lain dapat dipahami bahwa negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi alat untuk melaksanakan syariat, mewujudkan kemaslahatan umat serta menjamin ketertiban urusan dunia dan akhirat. Sedikit berbeda dengan al-Ghazali, Ibn Taimiyah dalam kaitannya hubungan agama dan politik, ia menempatkan negara sebagai pelaksana dalam mewujudkan kewajiban agama berkaitan dengan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syariat Islam. Menurutnya, kesejahteraan umat tidak dapat diwujudkan secara sempurna, kecuali dengan bermasyarakat. Untuk pengaturannya diperlukan pemimpin. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa menegakkan pemerintah adalah perintah agama, dan dibentuknya pemerintahan dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah, bukan alat untuk mencari pangkat dan materi. Sementara Ali Abdul Roziq berpendapat bahwa pembentukan pemerintahan bukan merupakan bagian dari tugas Nabi Muhammad. Karena Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul sebagaimana Rasul-Rasul lain. Ia bukan seorang raja atau pembentuk pemerintahan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mengemban kerisalahannya, banyak hal-hal yang tidak dapat dilepaskan dengan konteks percaturan politik. Misalnya mengadakan kontak dengan negara/kerajaan lain, mempersiapkan angkatan perang, membuat peraturan-peraturan yang mengikat berbagai komunitas masyarakat.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa hubungan antara agama dan negara sangat erat sekali. Negara didirikan merupakan perintah agama dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umat, mencegah kemungkaran, menegakkan keadilan, menggalang persatuan dalam kehidupan bermasyarakat dan untuk melaksanakan syariat Islam. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan kekuasaan dan pemimpin. Karena mendirikan negara merupakan kewajiban agama, maka rakyat harus memberi dukungan dan mentaatinya, tanpa dukungan dari rakyat tujuan positif tersebut tidak akan dapat tercapai.
Dari uraian mengenai pengertian etika dan politik dan hal-hal yang terkait dengan keduanya yang dipilih sebagai kerangka teoretik atau landasan teori dalam tulisan ini adalah dalam rangka mencari pemaknaan secara utuh dan menyeluruh tentang etika politik Islam dengan rumusan sebagai berikut: Etika Politik Islam adalah: “Ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian berdasarkan sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadis) terhadap berbagai aktivitas, sikap dan perilaku para tokoh pemerintahan atau wakil rakyat dalam mempengaruhi dan atau pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan”, dalam pemberian tanggapan atau penilaian tersebut akan dapat ditetapkan sebuah predikat baik (yang semestinya dikerjakan) dan buruk (yang mesti tidak dikerjakan).
D. Landasan Moral Politik Islam
Etika politik Islam secara normatif bertumpu pada nash-nash al-Qur’an dan perilaku Nabi baik yang terungkap dalam hadis maupun yang dipahami dari sejarah tentang beliau. Al-Qur’an diturunkan dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia, baik secara individu maupun kelompok, termasuk dalam berpolitik. Kitab suci ini menyediakan suatu dasar yang kokoh dan tidak pernah berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang sangat diperlukan dalam menata kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad – sebagaimana dikutip oleh A. Syafii Ma’arif – al-Qur’an memberikan suatu jawaban secarakomprehensif mengenai persoalan yang baik bagi manusia, baik secara perorangan maupun kelompok dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang berimbang di dunia ini dengan tujuan akhir di akhirat.
Nabi Muhammad sendiri sekalipun ia tidak pernah memproklamirkan dirinya sebagai tokoh politik, posisi beliau dalam masalah ini dapat dipahami dari wahyu yang diterimanya:
“Sesungguhnya Allah telah mengarunia orang-orang mukmin dengan membangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari jenis mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab suci dan kebijakan, sedangkan sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.”
Terjemahan ayat al-Qur’an yang kita kemukakan di atas telah memberi gambaran mengenai hubungan yang sebenarnya antara kenabian Muhammad dengan masalah politik. Dalam ayat tersebut telah dikukuhkan posisi Nabi Muhammad sebagai pembawa rahmat dan maslahat bagi umat manusia dimana hal ini merupakan bagian dari tujuan terbentuknya negara. Berkaitan dengan hal ini kiranya akan menambah kejelasan kepada kita, pandangan Ibnu Taimiyah dalam menjelaskan posisi Nabi Muhammad hubungannya dengan masalah kekuasaan. Agama perlu buku petunjuk dan kekuasaan, agar dapat menjalankan keadilan di muka bumi sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat untuk menusia dan agar Allah mengetahui siapa yang menolongnya dan (menolong) Rasulnya yang ghaib (daripadanya).”
Bertitik tolak dari latar tersebut, Ibn Taimiyah menegaskan bahwa agama yang benar wajib mempunyai Buku Petunjuk dan Pedang Penolong. kekuasaan politik yang disimbolkan oleh pedang menjadi sesuatu yang esensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan bukanlah agama. Kalau kita simak karir Nabi Muhammad s.a.w. dalam kapasitasnya sebagai kepada negara Madinah, pada umumnya mendukung pernyataan ini.
Tujuan terpenting al-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat setiap kegiatan politik umat manusia. Prinsip amanat, keadilan, musyawarah, kejujuran merupakan kunci dalam ajaran etik dan moral al-Qur’an.
Prinsip keadilan kaitannya dengan penciptaan kemaslahatan dan kedamaian di muka bumi, diperintahkan secara berulang-ulang dan tegas oleh al-Qur’an. Melaksanakan dan memelihara keadilan di bumi merupakan prasyarat bagi kebahagiaan umat manusia. Itulah sebabnya gagasan tentang keadilan demikian kuat dalam al-Qur’an. Mahmoud Syalthout menegaskan bahwa keadilan merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem yang berorientasi kepada Tuhan. Lebih lanjut dikatakan oleh Mahmoud Syalthout, keadilan adalah sistem Tuhan dan syariatnya. Maka dalam rangka mewujudkan keadilan di bumi, Allah mengutus para Rasul-Nya kepada umat manusia. Sementara itu Khalifah Abdul Hakim – sebagaimana dikutip Syafii Ma’arif – memberikan penilaian terhadap pribadi Nabi Muhammad sebagai berikut:
“Ia (Nabi Muhammad) adalah raja filsuf yang diimpikan oleh Plato; ia adalah seorang manusia dengan cita-cita keadilan yang tinggi, pada waktu yang sama memiliki larakter dan kekuasaan untuk menterjemahkan ke dalam praktik dan melihat hasilnya dengan mata kepala sendiri semasa hidupnya ….”
Mengenai upaya mewujudkan kemaslahatan bagi umatmanusia di muka bumi, prosedur dan metode pengorganisasian kekuasaan yang dapat diterapkan secara efektif, bijak dan wajar, al-Qur’an menawarkan prinsip musyawarah dalam setiap langkah pengambilan keputusan dan kebijakan. Konsep syura (musyawarah) merupakan gagasan politik utama dalam al-Qur’an. Oleh karenanya sistem politik demokrasi tampaknya dekat kepada etika politik normatif al-Qur’an sekalipun konsep syura tidak identik dengan demokrasi Barat, karena sistem pemerintahan Nabi Muhammad tercermin dalam kepribadian beliau. Apa yang pernah terjadi dalam sistem pemerintahan Nabi tidak akan dapat terulang lagi, karena menurut al-Qur’an, Tuhan sendirilah yang memilih dan mengangkatnya sebagai Rasul sebagai manifestasi rahmat Allah untuk sekalian umat manusia. Dilihat dari sisi ini, menurut Syafii Ma’arif, dalam setiap usaha untuk menciptakan suatu tatanan sosiopolitik Islam, risalah al-Qur’an yang universal harus senantiasa diperhatikan, sebab kalau tidak demikian, tatanan itu akan bisa jatuh dalam tatanan politik nasionalistik yang sempit, suatu keadaan yang merusak tujuan yang sebenarnya dari misi kenabian. Demikian isyarat-isyarat dasar al-Qur’an berkaitan dengan moral politik, dan selanjutnya untuk kepentingan pemfokusan kajian, akan dikemukakan hal-hal yang berkenaan dengan materi moral politik.
E. Kaidah Demokrasi Politik Islam
A. Saling Mengenal atau Ta’aruf
Ta’aruf berasal dari kata ‘arafa yang artinya mengerti, dengan adanya saling mengenal diharapkan supaya antara satu dengan yang lain saling mengerti kepentingan orang lain. Ta’aruf akan berjalan jika ada persamaan dan tidak ada yang dinomerduakan. Dalam lingkungan yang demokrasi semua orang harus mengerti kepentingan setiap orang supaya tidak ada perselisihan antara suatu kelompok.
B. Musyawarah atau Syura
“Musyawarah diwajibkan dalam islam,” sehing dalam demokrasi politik umat islam mempunyai pegangan yang jelas. Dalam menyelesaikan masalah yang bertubi-tubi atau yang menumpuk, maka akan cepat terselesaikan solusi dari masalah yang dihadapi dengan melakukan musyawarah.
Seperti halnya saat kaum muslim akan Perang Uhud, saat itu Nabi mengadakan musyawarah untuk menentukan pilihan. Dan kaum muslim memilih untuk perang walaupun kaum muslim kalah dalam peperangan melawan kaun Qurais, walaupun kalah tetapi itu semua keputusan dari musyawarah, dan “musyawarah proses yang penting dari pada hasil.”
C. Kerja Sama atau Ta’awun
Setelah melakukan musyawarah harus ada hubungan kerja sama yang baik serta terkontrol, supaya tidak ada perpecahan antara yang satu dengan yang lain. Seperti firman Allah Qs. Al Maidah ayat 2, yang artinya “ dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
D. Mashlahah atau menguntungkan masyarakat
Mashlahah sama artinya dengan kata shalih yang artinya baik, jika ada kata yang berhubungan dengan baik maka masyarakat akan berbicara tengtang amar ma’fuf nahi munkar ‘menyuruh kebaikan, mencegah kejahatan.
E. Adil atau ‘Adl
Sebenarnya islam telah menjamin politik yang adil, dan politik yang adil adalah berdasarkan keadilan Allah dan Rasul-Nya dan mewujudkan kemaslahatan manusia, maka ada juga politik yag zalimdan syariat mengharamkan hal itu. Dalam al Quran banyak larangan untuk berbuat zalim dan ada pula untuk selalu berbuat adil pada sesama. Banyak bukti dari umat terdahulu penguasa-penguasa mereka yang zalim menerima balasannya sebanding dengan kezaliman yang mereka perbuat.
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan memikirkan dunia saja, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa.
F. Perubahan atau Taghyir
Adanya keinginan perubahan dalam suatu politik atau suatu kekuasaan, maka ada demokrasi yang diharapkan secepatnya ada perubahan, supaya tidak pasip hanya hal seperti itu saja. Orang yang tidak memiliki hati nurani maka dia tidak akan menginginkan perubahan dalam dirinya.






BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah sepatutnya memiliki peran utama dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk menuju ke arah integrasi kehidupan masyarakat, negara dan Islam diperlukan ijtihad yang akan memberikan pedoman bagi anggota parlemen atau politisi dalam menjelaskan hujahnya dalam berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup dalam alam modern ini dengan politik akan memberikan pengalaman dan tantangan baru menuju masyarakat yang adil dan makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat akan menambah kepercayaan masyarakat khususnya di Indonesia bahwa memang Islam mengatur seluruh aspek mulai ekonomi, sosial, militer, budaya sampai dengan politik.
Hubungan politik dan islam pun sangat erat karena keduanya tidak bisa dipisahkan, antara politik dan islam saling memenuhi satu sama lain, politik pun suah diatur dalam Al Quran dan Al Hadits. Dari mulai bagaimana tatacara berpolitik dan tindakan yang harus diambil ketika menghadapi masalah.
Selengkapnya...

both;'/>